Ditetapkannya batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, dan
peringatannya setiap tanggal 2 Oktober, seharusnya membuat kita semakin
memahami apa yang disebut sebagai batik. Yang dijadikan warisan budaya
tersebut adalah proses membatiknya, bukan kain dengan motif batik
seperti yang kerap dipersepsikan orang kebanyakan.
Hal sederhana yang mungkin belum Anda ketahui, misalnya, batik ternyata
bukan hanya dikerjakan oleh perempuan pembatik yang duduk di dingklik
(bangku pendek) sambil melukisi kain mori dengan lilin malam. Sehelai
kain batik bisa dikerjakan oleh empat hingga lima orang. Dari pembuat
pola di kertas, pembatik, hingga pemberi warna dan penglorod.
1. Nyungging, yaitu membuat pola atau motif batik pada kertas. Tidak
semua orang bisa membuat motif batik, sehingga pola ini dibuat oleh
spesialis pola.
2. Njaplak, memindahkan pola dari kertas ke kain.
3. Nglowong, melekatkan malam di kain dengan canting sesuai pola. Pada tahap ini, motif batik akan mulai tampak.
4. Ngiseni, memberikan motif isen-isen (isian) atau variasi pada ornamen
utama yang sudah dilengreng atau dilekatkan dengan malam menggunakan
canting.
5. Nyolet, mewarnai bagian-bagian tertentu dengan kuas. Misalnya, gambar bunga atau burung yang muncul di sana-sini.
6. Mopok, menutup bagian yang dicolet dengan malam. Tahap ini diiringi
dengan nembok, atau menutup bagian dasar kain yang tidak perlu diwarnai.
7. Ngelir, melakukan proses pewarnaan kain secara menyeluruh.
8. Nglorod, proses pertama meluruhkan malam dengan merendam kain di dalam air mendidih.
9. Ngrentesi, memberikan cecek atau titik pada klowongan (garis-garis
gambar pada ornamen utama). Untuk menghasilkan cecekan yang halus,
digunakan canting dengan jarum yang tipis.
10. Nyumri, menutup kembali bagian tertentu dengan malam.
11. Nyoja, mencelupkan kain dengan warna coklat, atau sogan. Batik sogan
adalah batik yang berwarna dasar coklat, seperti batik yogya atau batik
solo.
12. Nglorod, proses peluruhan malam kembali dengan cara merendam kain di dalam air mendidih.
Bayangkan saja, sehelai kain ukuran 2,5 m yang menampilkan suatu karya
batik, ternyata membutuhkan waktu pembuatan hingga tiga bulan. Proses
pembuatan yang begitu lama jelas menuntut kesabaran, ketelitian, dan
cita rasa yang tinggi. Bagaimanapun, nilai batik akan meningkat bila
pembatik mampu menghasilkan batik dengan tingkat kesulitan yang tinggi.
"Nilai jualnya tergantung dari keunikan kainnya, batikan, dan warnanya.
Kalau desainnya langka, dan tak bisa ditiru, itu akan menentukan
harganya.
Pembatik -yang memindahkan pola ke atas kain, dan melukisnya dengan
menggunakan canting, lalu menutup bagian-bagian yang tidak berwarna
dengan lilin (malam), pewarnaan, nglorod (proses membilas atau
meluruhkan lapisan malam), hingga mencuci dan kemudian menjemurnya
hingga siap dipakai.
Seorang yang menguasai pembuatan batik tentu mampu melakukan seluruh
tahapan ini. Termasuk, dos & don'ts dalam melakukan setiap tahapan
tersebut.
Menciptakan warna yang dihasilkan dari bahan-bahan alami seperti kayu
tingi, secang, mahoni, jambal, tegeran, atau jelawe. Yang mengutamakan
kualitas, mengejar kesempurnaan hingga semaksimal mungkin. mengejar
kepuasan batin dengan menghasilkan batik yang berkualitas tinggi.
Selembar kain batik karyanya yang berukuran 2,5 m dari bahan katun bisa
dihargai hingga Rp 3 juta. Sedangkan batik dari bahan sutera nilainya
bisa mencapai Rp 15 juta.
Banyak hal yang bisa menghambat pengerjaan sehelai batik, dan
mengharuskan pembatik mengulangi pembuatannya dari awal. Misalnya,
pelukisan dengan lilin yang blobor akibat cairan lilin yang tidak pas
kekentalannya. Atau, kegagalan saat proses pewarnaan. Kalau sudah
begini, pembatik tentu mengalami kerugian seperti hilangnya lembaran
kain berbahan sutera yang nilainya mencapai jutaan.
"Itu sering terjadi, dan mau tidak mau kita harus menerimanya. Anda
harus membayar kegagalan itu dengan menikmati seluruh prosesnya. Enjoy
the process, enjoy the moment. Kita tidak akan menjadi pembatik yang
andal jika tidak melalui proses kegagalan itu," tutur desainer Edward
Hutabarat".
Di luar urusan teknis, masih ada kendala sosial yang menghambat proses
pembuatan batik. Banyak pembatiknya yang menikah, mempunyai anak, dan
memutuskan berhenti bekerja. "Padahal regenerasi kan harus terus
berlangsung. Akhirnya saya harus mencari pembatik lagi, entah dari
keluarga atau teman-temannya,".